Kamis, 9 Mei 2024

Revitalisasi Budaya Padi

- Minggu, 20 Maret 2022 | 15:53 WIB

Budaya agraris telah lama menasehati kita untuk selaras dan serasi dengan alam. Telah lama memberi contoh pada kita. Siapa tanam dia tuwai. Ajaran-ajaran luhur yang tidak selayaknya hilang untuk alasan-alasan labil. Keuntungan semata.

---------------------------------------------------------

Oleh: Bambang Budiono*

PADI dikenal dan ditanam orang sejak sebelum Masehi. Sejarah penyebaran padi memang ada berbagai versi, namun informasi yang paling umum beredar di masyarakat, padi berasal dari dua benua, yakni Oryza Fatua koenig dan Oryza sativa L berasal dari benua Asia. Sedangkan jenis padi lainnya, Oryza stapfii Roschev dan Oryza glaberrima Steundberasal dari Afrika Barat (Benua Afrika) (AAK, 1990).

Penyebaran untuk varian Asia. Menyebar dari Cina, Thailand, Vietnam, hingga ke Nusantara dan semenanjung Malaya. Sejarah panjang ini, tentu diikuti dengan bermacam hal terkait denganya. Sebagai produk pangan, padi sangat memengarui kehidupan dan sejarah manusia. Tak sedikit kejadian-kejadian besar di masa lampau dipengaruhi oleh padi. Sebagai misal, Perang Tondano 1 yang berlangsung antara 1661 hingga 1664 antara rakyat Minahasa dan VOC, yang memperebutkan jalur perdagangan beras. Hingga perang tersebut terhenti karena hasil panen yang rusak oleh luapan sungai temberan. Atau sejarah-sejarah lain yang menguak sebab perang. Di mana selalu saja tentang perebutan sumber daya. Salah satunya pangan.

Kisah-kisah di atas menunjukan betapa sentralnya kedudukan tanaman padi, sebagai sumber keberlangsungan hidup umat manusia. Mengingat peranan yang begitu fundamental, maka tak berlebihan jika padi memiliki kedudukan khusus dalam masyarakat dibanding tanaman lain.

Pengkhususan ini dapat dilihat dari berbagai macam upacara adat, baik di Jawa maupun luar Jawa yang menempatkan padi secara sakral. Bahkan, masyarakat melakukan ritual khusus untuk padi pada saat-saat tertentu, seperti pada masa tanam dan panen. Selanjutnya, pengkhususan ini menjadi kebiasan dan diwariskan secara turun temurun, sehingga menjelma menjadi budaya pada masyarakat.

Di Jawa, kita mengenal Bubak Bumi (ritual sebelum tanam), Keleman (ritual saat biji padi terisi sempurna), Wiwet (ritual saat memulai panen). Kalimantan ada upacara Naik Dango (ritual sesudah panen). Seren Taun di Sunda (ritual panen). Suku Bugis Sulawesi selatan ada ritual panen Mappadendang, sedang di Flores ada ritual panen Penti. Pada daerah-daerah lain dengan nama dan tata cara yang beraneka ragam. Namun, kesemua ritual ini memiliki tujuan yang sama, yakni ungkapan rasa syukur pada Tuhan Yang Maha Esa. Semoga hasil panen yang dianugrahkan berlimpah.

Petani bukanlah pedagang. Petani memiliki keuletan, ketabahan, kesabaran, doa, dan kesungguhan. Mereka berperangai lembut karena terbiasa dengan penantian panjang. Bahkan pada saat-saat paling sulit, seperti gagal panen atau musim yang tak memihak. Kemarau panjang atau banjir. Mereka tetap saja tabah mengarungi hidup. Mengandalkan hasil kebun atau ternak-ternak peliharaan.

Mereka telah punya segala. Perhitungan waktu (pranoto mongso). Kapan menanam apa. Mereka juga telah punya filosofi hidupnya sendiri, dengan belajar dari gejala alam dan vegetasi. Mereka memiliki keseniannya sendiri. Mereka punya tata cara sosialnya sendiri. Mereka juga telah punya teknologi pertanian yang sepenuhnya organik, tidak rakus dan merusak.

Saat orang-orang bijak dan tangguh ini telah mapan dengan segalanya. Di belahan bumi lain pada akhir abad 18 pergolakkan besar dengan nama Revolusi tengah terjadi. Eropa mengalami masa yang dikatan sebagai masa pencerahan. Teknologi-teknologi baru lahir. Eropa menaklukkan lautan dan menyebar ke seluruh penjuru dunia. Kehebohan besar ini sempat dicacat oleh sastrawan Pramoedya Ananta Toer secara rinci dalam Novel “Arus Balik”. Maka, dimulailah sebuah babak baru kehidupan manusia dengan narasi besar—modern.

Anak-anak muda dari seluruh dunia terpukau oleh gagasan-gagasan baru. Mengedepankan logika dan rasionalitas dalam berpikir serta memandang segala sesuatu. Mereka mulai memilih, mana yang benar dan mana yang salah. Mana superior, mana inferior. Mana terbelakang, mana berkemajuan, dan seterusnya. Semua hal-ihkwal diruntut, diurus dengan serius perbandingan-perbandinganya. Masuk akal atau tidak. dapat dihitung atau tidak. Untung atau rugi, dan seterusnya.

Kehidupan mulai penuh dengan perhitungan matematis. Orang mulai menghapuskan segala sesuatu yang dianggap tidak relevan dengan zaman (kuno). Segala yang tak masuk dalam hitungan kepala, adalah tidak. Segala hal yang tak berdampak ekonomis, adalah sia-sia. Kesibukan pada diri sendiri merebak luas sampai ke pelosok-pelosok negeri. Ukuranya selalu tentang untung rugi. Kalau aku melakukan itu, untung apa yang aku dapat. Kalau kau tak menguntungkan bagiku, lalu untuk apa? Pikiran-pikiran semacam itu dianggap wajar.

Pelan tapi pasti, masyarakat mulai kehilangan jati diri akan keberagamannya. Kesadaran sebagai makhluk sosial memudar. Akar kebudayaan hanya jadi bahasan makalah dan jurnal-jurnal ilmiah kampus. Masa-masa genting dari modernisme dimulai. Sekian teknologi tercipta, sekian pula masalah baru bermunculan. Komputerisasi tak mampu menjawab hal-hal yang paling fundamental dalam kehidupan manusia. Nurani.

Ukuran-ukuran kasat mata adalah perhitungan yang luput dari nilai batiniyah manusia. Tidak semua hal dapat diukur dari sudut pandang untung rugi. Sisi itu kosong dan orang berjalan tanpa kesadaran spiritual. Benar salah tak berdaya, tak sebanding dengan baik buruk. Logika tak pernah mampu menembus batas terluar dari jiwa manusia. Empati.

Mau sengeyel apapun mempertahankan argumentasi silogisme dan rasionalisme harus tetap menyerah di hadapan nurani. Sebab, di sanalah pembeda manusia dan bukan. Narasi-narasi tentang kemakmuran, kemajuan, dan teknologi terbukti gagal meningkatkan derajat kemanusiaan. Kita hanya semakin terpuruk dalam kemungkinan dan tahayul kemajuan. Bukan fakta, seperti yang menjadi janji dari hitungan untung rugi.

Pedagang kita semakin bangkrut karena bunga bank. Nelayan kita semakin kecil kapalanya. Pelajar-pelajar kita tersesat di perpustakaan digital. Tanpa tahu judul buku mana yang layak dibaca. Kita sendiri semakin hedon. Tak percaya diri. Pemuda-pemuda kita loyo, sibuk berias dan membuat insta story. Pandangan-pandangan untung rugi benar-benar dalam kondisi bangkrut total.

Sebagian dari mereka yang pandai membaca gejala telah memutar haluan. Kembali pada kearifan lokal masing-masing. Kembali pada tata nilai dan budaya leluhur, kembali pada memanusiakan manusia. Mengupayakan maksimal dan memasrahkan hasil pada Tuhan.

Budaya agraris telah lama menasehati kita untuk selaras dan serasi dengan alam. Telah lama memberi contoh pada kita. Siapa tanam dia tuwai. Ajaran-ajaran luhur yang tidak selayaknya hilang untuk alasan-alasan labil. Keuntungan semata. Masih belum terlambat. Desa-desa masih arif dan petani masih bijaksana. Laboratorium kehidupan digelar 360 hari dalam setahun. Pulanglah ke desa. Menjenguk orang-orang tanpa putus asa. orang-orang yang hidup selaras dengan alam. Orang-orang yang bersyukur. Orang-orang yang berjalan dengan nurani. Menjenguk ajaran suci budaya padi: serius mengusahakan, telaten merawat, dan memasrahkan hasilnya pada Tuhan. (*)

*Lahir di Tuban, aktif sebagai aktor, sutradara dan penulis naskah teater sejak di bangku SMA.

Editor: Amin Fauzie

Tags

Terkini

Tips Terbebas dari Gagal Move On

Minggu, 5 Maret 2023 | 14:30 WIB

Perempuan dalam Bayangan Perkara dan Juru Warta

Sabtu, 6 Agustus 2022 | 08:47 WIB

Budaya Masjid dan Pasar di TV Ramadan

Minggu, 17 April 2022 | 01:33 WIB

Revitalisasi Budaya Padi

Minggu, 20 Maret 2022 | 15:53 WIB

Mengangkat Tenaga Honorer Menjadi PPPK Itu Impas

Minggu, 20 Februari 2022 | 13:10 WIB

Belajar Ikhlas

Sabtu, 12 Februari 2022 | 14:29 WIB

Berperilaku Barbar, Pejabat Teror Wartawan

Rabu, 9 Februari 2022 | 07:47 WIB

Bareksa

Sabtu, 5 Februari 2022 | 15:00 WIB

Safari Literasi: Tuban dan Kemiskinan

Minggu, 23 Januari 2022 | 07:22 WIB

Potensi Alam Tuban untuk Siapa?

Minggu, 16 Januari 2022 | 07:52 WIB

Menanti Kebijakan Pasca Pandemi

Minggu, 16 Januari 2022 | 07:34 WIB

Aset Kebudayaan Indonesia, Malaysia, atau India?

Jumat, 14 Januari 2022 | 11:07 WIB

Gayam dan Potensi OVOP yang Bisa Dikembangkan

Rabu, 12 Januari 2022 | 09:58 WIB
X